Geger! Kantor KontraS Didatangi 3 Orang Misterius Usai Rapat Panja RUU TNI!

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) baru-baru ini mengalami serangkaian kejadian yang cukup mengkhawatirkan. Setelah aksi menggeruduk rapat Panja Komisi I DPR RI terkait revisi Undang-Undang (RUU) TNI, mereka mengaku menerima berbagai bentuk teror yang membuat suasana kerja menjadi tidak nyaman.

Menurut Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, kejadian bermula pada Minggu dini hari, sekitar pukul 00.15 WIB. Tiga orang tak dikenal mendatangi kantor KontraS dan mengetuk pintu gerbang. Ketika ditanya asal-usulnya, mereka hanya mengaku dari media, tanpa memberikan detail lebih lanjut. Setelah itu, mereka langsung pergi.

“Kami lalu mengecek lewat balkon dan menanyakan mereka dari mana, mereka menjawab bahwa mereka dari media tapi tidak mengelaborasi dari media mana atau tidak memberikan informasi dari media mana, ujar Dimas.

Tidak hanya itu, Dimas juga mengungkapkan bahwa beberapa staf KontraS merasakan adanya pergerakan orang-orang mencurigakan di sekitar kantor. Bahkan, salah satu staf menerima teror panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dalam kurun waktu lima menit, staf tersebut menerima tiga panggilan berturut-turut.

Kenapa KontraS Mendapat Teror Setelah Mengkritik RUU TNI?

KontraS meyakini bahwa serangkaian kejadian ini berkaitan erat dengan aksi mereka sebelumnya, yaitu menggeruduk rapat Panja Komisi I DPR RI yang membahas revisi RUU TNI. Aksi penggerudukan itu sendiri dilakukan oleh sejumlah orang yang menamakan diri sebagai Koalisi Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menolak pembahasan RUU TNI yang dinilai dilakukan secara tertutup.

Salah satu peserta aksi, Andrie, menyampaikan aspirasinya di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Pusat, pada Sabtu (15/3). Ia dan rekan-rekannya menuntut agar rapat Panja RUU TNI dihentikan karena dianggap tidak transparan. Mereka juga khawatir bahwa RUU ini dapat mengembalikan dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang sangat ditentang karena dianggap membatasi peran TNI dalam ranah sipil.

“Bapak-Ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI,” tegas Andrie.

Aksi penolakan ini mencerminkan kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap potensi kembalinya dwifungsi ABRI, yang dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi dan supremasi sipil. RUU TNI yang dibahas secara tertutup semakin memicu kecurigaan dan ketidakpercayaan publik.

Apa Isi RUU TNI yang Kontroversial Itu?

Sayangnya, detail spesifik mengenai isi RUU TNI yang menjadi kontroversi tidak dijelaskan secara rinci. Namun, penolakan terhadap pembahasan tertutup dan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI mengindikasikan bahwa RUU ini berpotensi memberikan kewenangan yang lebih luas kepada TNI, bahkan mungkin melampaui batas-batas yang seharusnya.

Dwifungsi ABRI sendiri merupakan konsep yang diterapkan pada masa Orde Baru, di mana TNI memiliki peran ganda, yaitu sebagai kekuatan pertahanan negara dan juga sebagai kekuatan sosial-politik. Konsep ini banyak dikritik karena dianggap memberikan TNI terlalu banyak kekuasaan dan mengintervensi urusan sipil.

Oleh karena itu, wajar jika masyarakat sipil, termasuk KontraS dan Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, merasa khawatir dan menolak pembahasan RUU TNI yang berpotensi mengembalikan konsep tersebut.

Bagaimana Seharusnya Pemerintah Menanggapi Kritik Terhadap RUU TNI?

Pemerintah dan DPR RI seharusnya menanggapi kritik dan kekhawatiran masyarakat terkait RUU TNI dengan serius. Pembahasan RUU ini seharusnya dilakukan secara terbuka dan transparan, melibatkan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pakar hukum.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai isi RUU TNI, serta menjamin bahwa RUU ini tidak akan mengembalikan dwifungsi ABRI atau memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI. Tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa RUU TNI benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Kejadian yang dialami KontraS ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya kebebasan berpendapat dan hak untuk menyampaikan kritik. Pemerintah seharusnya melindungi hak-hak ini dan tidak membiarkan adanya tindakan intimidasi atau teror terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat.

Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua dan mendorong terciptanya iklim demokrasi yang lebih sehat dan inklusif di Indonesia.

Ku ingin bebas dari belenggu, ku ingin terbang setinggi langit biru… (Lirik lagu, tidak diubah)

Sebagai penutup, mari kita jaga kebebasan berpendapat dan terus kawal proses legislasi agar sesuai dengan kepentingan rakyat.

More From Author

Dampak Teknologi terhadap Tenaga Kerja: Revolusi Industri 4.0 dan Masa Depan Pekerjaan

teknologi kedokteran itb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *