Kasus dugaan suap dan pemotongan anggaran proyek di Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, bikin heboh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan beberapa tersangka, termasuk tiga anggota DPRD dan Kepala Dinas PUPR OKU. Wah, ada apa ini?
Kok Bisa Anggota DPRD dan Kepala Dinas PUPR Jadi Tersangka?
Jadi gini, ceritanya bermula saat pembahasan RAPBD OKU tahun anggaran 2025. Kepala Dinas PUPR OKU, Nopriansyah, diduga menawarkan sembilan proyek ke pihak swasta, yaitu Fauzi dan Ahmad. Tapi, ada commitment fee yang harus dibayar, yaitu 2% untuk Dinas PUPR dan 20% untuk DPRD. Total 22% dong!
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menjelaskan bahwa awalnya ada permintaan jatah pokir (pokok pikiran) dari anggota DPRD ke pemerintah. Jatah pokir ini kemudian diubah jadi proyek fisik di Dinas PUPR senilai Rp 40 miliar. Nah, di sinilah diduga terjadi praktik suap dan pemotongan anggaran.
Menjelang Idul Fitri, perwakilan DPRD, yaitu Ferlan, Fahrudin, dan Umi, menagih jatah proyek tersebut ke Nopriansyah. KPK menduga, saat pembahasan RAPBD, perwakilan DPRD meminta jatah pokir seperti yang sudah-sudah.
Singkat cerita, saat APBD tahun anggaran 2025 disetujui, anggaran Dinas PUPR naik drastis dari Rp 48 miliar menjadi Rp 96 miliar. Wah, kok bisa naik dua kali lipat? Diduga, kenaikan ini karena ada kesepakatan terkait commitment fee tadi.
KPK kemudian melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di OKU dan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka, termasuk Ferlan, Fahrudin, Umi (anggota DPRD), dan Nopriansyah (Kepala Dinas PUPR).
Siapa Saja yang Jadi Tersangka dan Apa Hukumannya?
Berikut daftar tersangka dalam kasus ini:
- Ferlan (anggota DPRD)
- Fahrudin (anggota DPRD)
- Umi (anggota DPRD)
- Nopriansyah (Kepala Dinas PUPR OKU)
- Fauzi (pihak swasta)
- Ahmad (pihak swasta)
Ferlan, Fahrudin, Umi, dan Nopriansyah dijerat dengan Pasal 12 a atau 12 b dan 12 f dan 12 B UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal-pasal ini mengatur tentang suap, pemotongan anggaran, dan gratifikasi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Sementara itu, Fauzi dan Ahmad dijerat Pasal 5 ayat 1 a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kenapa Kasus Korupsi di Daerah Masih Sering Terjadi?
Korupsi di daerah memang masih jadi masalah serius di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, di antaranya:
- Lemahnya pengawasan dari masyarakat dan lembaga terkait.
- Kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran daerah.
- Adanya praktik bagi-bagi proyek antara pejabat dan anggota DPRD.
- Budaya titipan dan jatah yang masih kuat.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada upaya yang lebih serius dari semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pengawas, hingga masyarakat. Pengawasan yang ketat, transparansi anggaran, dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memberantas korupsi di daerah.
Semoga kasus ini jadi pelajaran buat kita semua. Jangan sampai deh, korupsi merajalela dan merugikan masyarakat banyak. Ingat kata Rhoma Irama, Korupsi bukan budaya kita, korupsi musuh utama bangsa.
Selain itu, kita juga harus ingat pesan moral dari lagu Bang Haji lainnya, Kalau sudah terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian. Tapi, dalam konteks ini, jangan sampai kita terlanjur basah dalam praktik korupsi. Lebih baik mencegah daripada mengobati, kan?
Yuk, sama-sama kita awasi dan berantas korupsi di Indonesia! Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kalau kita bersatu melawan korupsi, pasti Indonesia bisa lebih maju dan sejahtera.