Kasus penggerudukan rapat panitia kerja (panja) Komisi I DPR yang membahas revisi Undang-Undang (UU) TNI di Hotel Farimont, Jakarta Pusat, memasuki babak baru. Polda Metro Jaya menerima laporan dari pihak keamanan hotel, RYR, terkait insiden tersebut. Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, angkat bicara mengenai laporan ini.
Dimas menjelaskan bahwa pihaknya masih memverifikasi laporan tersebut ke pihak kepolisian karena belum menerima salinan resminya. Ia juga menyoroti pasal-pasal yang disangkakan dalam laporan tersebut, menilai bahwa deliknya terkesan dipaksakan.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi, laporan tersebut teregister dengan nomor LP/B/1876/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA. Pasal yang diadukan meliputi Pasal 172, Pasal 212, Pasal 217, Pasal 335, Pasal 503, dan Pasal 207 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.
Ade Ary menambahkan bahwa laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum, perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan, dan penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia.
Kenapa KontraS Melakukan Penggerudukan Rapat DPR?
Dimas menjelaskan bahwa aksi penggerudukan tersebut merupakan bagian dari tuntutan masyarakat agar pemerintah dan DPR lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan. Ia menekankan pentingnya proses legislasi yang cermat agar tidak menghasilkan produk hukum yang cacat.
Ia juga menegaskan bahwa aksi yang dilakukan KontraS sudah sesuai dengan koridor hukum dan ketentuan yang berlaku terkait penyampaian pendapat di muka umum dan ekspresi.
Ini bagian dari tuntutan masyarakat untuk kemudian dapat memberikan satu peringatan kepada para pembuat kebijakan untuk lebih berhati-hati lagi dalam membuat satu peraturan atau satu produk legislasi agar tidak menghasilkan satu produk legislasi yang cacat, ujar Dimas.
Apakah Aksi KontraS Melanggar Hukum?
Dimas berpendapat bahwa pelaporan ini seharusnya dapat dicegah. Ia mengklaim bahwa pihaknya telah melalui proses pengecekan keamanan dari pihak hotel sebelum melakukan aksi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak membawa barang-barang yang berpotensi membahayakan atau mengintimidasi.
Kami melihat ada upaya yang dipaksakan karena pertama, dalam konteks pelaksaanan aksi kami sudah melewati securiti cek dari pihak hotel, artinya kita tidak membawa barang-barang atau benda-benda yang kemudian potentially harmful gitu ya, atau berpotensi untuk kemudian dapat melukai atau mengintimidasi seseorang, jelasnya.
Dimas juga menambahkan bahwa pihaknya hanya menyampaikan tuntutan dan tidak melakukan intimidasi atau ancaman. Ia merasa bahwa pasal-pasal yang disangkakan bernada ancaman keselamatan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Apa Dampak Revisi UU TNI Bagi Masyarakat Sipil?
Revisi UU TNI menjadi sorotan karena dianggap berpotensi mengancam demokrasi dan supremasi sipil. Beberapa pasal dalam revisi tersebut dikhawatirkan memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada TNI, sehingga dapat tumpang tindih dengan tugas dan fungsi kepolisian.
KontraS dan organisasi masyarakat sipil lainnya gencar menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI. Mereka berpendapat bahwa revisi ini dapat membuka peluang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil, yang dapat mengancam kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Kasus penggerudukan ini menjadi momentum penting untuk menguji komitmen pemerintah dan DPR terhadap demokrasi dan supremasi sipil. Masyarakat sipil berharap agar pemerintah dan DPR lebih terbuka terhadap kritik dan masukan dari masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan.
Seperti kata pepatah, Vox populi, vox Dei suara rakyat adalah suara Tuhan. Semoga para pembuat kebijakan senantiasa mendengarkan aspirasi rakyat dan membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.
Mari kita kawal terus proses revisi UU TNI ini agar tidak menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Jangan biarkan suara kita dibungkam!
Ku ingin bebas dari belenggu, ku ingin terbang setinggi langit biru…