Pernahkah kamu merasakan hari Senin yang terasa seperti hari Jumat? Bukan karena semangat, tapi karena rutinitasnya terasa sama persis. Kamu datang ke kantor (atau membuka laptop di rumah), ikut daily stand-up, menarik tiket dari Jira, membuka code editor, ngoding, testing, membuat pull request, di-merge, lalu… mengulang siklus yang sama keesokan harinya.
Kamu jago. Tugas-tugas yang diberikan selesai tepat waktu. Kode yang kamu tulis bersih, minim bug. Kamu adalah anggota tim yang bisa diandalkan. Tapi di satu titik, di antara baris-baris kode dan rapat-rapat rutin, sebuah pertanyaan mulai muncul di benakmu: “Terus, apa lagi?”
Rasa antusiasme saat pertama kali berhasil men-deploy aplikasi ke production mulai memudar, digantikan oleh rasa nyaman yang sedikit membosankan. Kariermu terasa seperti mobil yang berjalan di jalan tol yang lurus dan mulus—aman, tapi monoton. Kamu merasa “gitu-gitu aja”.
Jika kamu merasakan hal ini, selamat! Ini bukan pertanda kamu gagal atau salah pilih karier. Justru sebaliknya, rasa bosan itu adalah sinyal terkuat dari alam bawah sadarmu bahwa kamu sudah siap. Siap untuk tantangan yang lebih besar. Siap untuk tanggung jawab yang lebih luas. Siap untuk naik level menjadi Senior Developer.
Menjadi “Senior” bukan sekadar penambahan kata di profil LinkedIn atau kenaikan gaji (meskipun itu pasti mengikuti). Ini adalah sebuah evolusi—transformasi dari seorang eksekutor perintah menjadi seorang pemilik masalah, dari seorang prajurit menjadi seorang ahli strategi. Artikel ini adalah petamu untuk melalui evolusi tersebut.
Baca juga : Contek 5 Jurus Jitu Biar CV Kamu Dilirik Buat Posisi Arsitek Data
Bedanya Senior Bukan di Umur, tapi di Kepala
Kesalahan terbesar yang sering muncul adalah menganggap senioritas setara dengan lamanya pengalaman. “Dia sudah 7 tahun ngoding, wajar jadi senior.” Padahal, tahun hanyalah angka. Ada developer dengan 10 tahun pengalaman yang pola pikirnya masih level menengah, dan ada developer 4 tahun yang sudah memancarkan aura seorang senior.
Perbedaannya bukan di kalender, tapi di dalam kepala. Ini adalah perubahan mindset yang fundamental.
- Dari “Gimana Caranya?” ke “Kenapa Begini?” Seorang developer level menengah menerima tugas dan fokus mencari cara terbaik untuk menyelesaikannya. “Bagaimana cara membuat endpoint API ini?” Seorang senior, sebelum menulis satu baris kode pun, akan mundur sejenak dan bertanya “Kenapa?”. “Kenapa kita butuh endpoint ini? Apa masalah bisnis yang ingin dipecahkan? Apakah pendekatan ini bisa bertahan jika bebannya naik 100 kali lipat? Apa untung ruginya (trade-offs) jika kita menggunakan teknologi A versus B?” Mereka tidak hanya melihat tugas, mereka melihat gambaran besarnya.
- Dari “Penyelesai Tiket” ke “Pemilik Masalah” Pola kerja developer pada umumnya adalah menerima tiket, mengerjakan, lalu menutupnya. Selesai. Tanggung jawabnya sebatas tiket tersebut. Seorang senior mengambil kepemilikan penuh (ownership). Jika mereka ditugaskan untuk fitur “pembayaran”, mereka merasa bertanggung jawab atas seluruh alur pembayaran itu, dari awal hingga akhir. Jika terjadi masalah di jam 2 pagi, mereka tidak akan berpikir “itu bukan tugasku”. Mereka merasa terpanggil karena itu adalah “wilayah” mereka. Mereka memiliki masalahnya, bukan hanya tiketnya.
- Dari “Fokus Kode” ke “Fokus Tim” Seorang developer yang hebat bisa menghasilkan 1x output yang luar biasa. Seorang senior yang hebat bisa membuat 5 developer lain di timnya menjadi 2x lebih baik. Dampak mereka bersifat pengali (multiplier effect). Mereka berhenti terobsesi hanya dengan kesempurnaan kode mereka sendiri dan mulai peduli pada kesehatan tim. Mereka meluangkan waktu untuk me-mentor junior, memberikan feedback yang membangun saat code review, dan proaktif memperbaiki proses atau dokumentasi yang bisa membantu semua orang bekerja lebih baik.
Jurus-Jurus Ampuh untuk “Naik Kelas”
Mengubah mindset tentu tidak terjadi dalam semalam. Butuh latihan dan kebiasaan baru. Inilah beberapa jurus ampuh yang bisa kamu praktikkan mulai sekarang untuk mengakselerasi transformasimu.
Jurus #1: Jadilah “Kepo” Terhadap Sistem, Bukan Cuma Kodenya Berhentilah hidup hanya di dalam direktori proyekmu. Mulailah “kepo” atau ingin tahu tentang lingkungan sekitarmu.
- Zoom Out: Buka diagram arsitektur perusahaanmu (jika ada). Pelajari bagaimana layanan yang kamu kerjakan terhubung dengan layanan lain.
- Tanya “Kenapa”: Saat rapat atau diskusi, tanyakan keputusan-keputusan teknis di masa lalu. “Kenapa dulu kita memilih pakai database MongoDB untuk layanan ini, bukan PostgreSQL?” Jawaban dari pertanyaan ini mengandung pelajaran berharga.
- Baca Kode Orang Lain: Luangkan 15 menit setiap hari untuk membaca pull request dari tim lain atau dari senior di timmu. Kamu akan belajar pola pikir dan trik baru.
Jurus #2: Ambil Alih “Bola Panas” Di setiap tim, pasti ada tugas-tugas yang seperti “bola panas”—rumit, berisiko, penuh dengan kode lama (legacy), dan tidak ada yang mau menyentuhnya. Ambil bola itu. Tawarkan dirimu untuk:
- Memperbaiki bug tua yang sudah lama menghantui.
- Memimpin proyek refaktorisasi kecil untuk bagian kode yang paling berantakan.
- Menyelidiki masalah performa yang membuat aplikasi lambat.
Tugas-tugas inilah yang akan memaksamu belajar paling banyak dan paling cepat. Keberhasilanmu dalam menyelesaikan “bola panas” akan membuatmu paling bersinar di mata atasan.
Jurus #3: Bicaralah Bahasa Manusia (dan Bisnis) Kemampuanmu berkomunikasi sama pentingnya dengan kemampuanmu ngoding di level senior.
- Latih Menerjemahkan: Belajarlah menjelaskan konsep teknis yang rumit kepada orang non-teknis (Product Manager, desainer, tim bisnis) menggunakan analogi. “Kita butuh caching ini ibarat kita menyimpan data yang sering diakses di laci meja, jadi nggak perlu bolak-balik ke lemari arsip di gudang.”
- Hubungkan ke Nilai Bisnis: Saat mengusulkan perbaikan teknis, jangan hanya bilang “Kodenya jelek, harus diperbaiki.” Katakan, “Dengan melakukan refaktorisasi di modul ini, kita bisa mengurangi potensi bug sebesar 50% dan mempercepat pengembangan fitur baru di masa depan, yang artinya produk kita bisa lebih cepat sampai ke pasar.”
Jurus #4: Jadilah Mentor, Bahkan Tanpa Diminta Jangan menunggu ditunjuk secara resmi. Jika kamu melihat seorang junior kesulitan di channel Slack, tawarkan bantuan di DM. Jika kamu baru saja mempelajari sesuatu yang keren, bagikan di sesi sharing tim. Saat melakukan code review, jangan hanya memberi perintah (“Ubah ini”). Beri penjelasan (“Mungkin lebih baik pakai pendekatan ini, karena bisa menghindari masalah X. Ini ada artikel bagus tentang itu…”).
Langkah Praktis yang Bisa Dilakukan Besok Pagi
- Jadwalkan 1-on-1 dengan atasanmu. Katakan dengan jelas, “Saya ingin bertumbuh menuju peran senior. Bisakah kita berdiskusi tentang area apa yang perlu saya kembangkan dan apakah ada kesempatan untuk mengambil tanggung jawab lebih?”
- Pilih satu dokumentasi yang buruk di proyekmu. Ambil inisiatif untuk memperbaikinya minggu ini. Tulis ulang agar lebih jelas dan tambahkan diagram jika perlu.
- Saat daily stand-up besok, dengarkan baik-baik blocker yang dihadapi rekanmu. Jika kamu punya ide solusi, tawarkan bantuan setelah rapat selesai.
Bosan Itu Bahan Bakar
Pada akhirnya, rasa bosan “gitu-gitu aja” yang kamu rasakan bukanlah kutukan, melainkan berkah tersembunyi. Itu adalah bahan bakar. Itu adalah energi yang mendorongmu untuk keluar dari zona nyaman dan mencari tantangan baru.
Perjalanan menjadi senior adalah sebuah pilihan aktif, bukan proses pasif menunggu waktu berlalu. Ini adalah tentang mengubah kebiasaan, memperluas tanggung jawab, dan menggeser fokus dari dirimu sendiri ke tim dan sistem yang lebih besar.
Jadi, jangan diam saja. Gunakan rasa bosan itu sebagai katalisator. Pilih satu jurus di atas dan mulailah hari ini. Saatnya berhenti menjadi developer “gitu-gitu aja” dan memulai perjalananmu menjadi seorang Senior Developer sejati.
Penulis : aqilah az-zahra