Kasus yang menjerat AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, mantan Kapolres Ngada, memasuki babak baru. Hari ini, Senin (17/3/2025), Divisi Propam Polri menggelar sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) untuk menentukan nasibnya. Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, bahkan turun tangan langsung memantau jalannya sidang yang dimulai pukul 09.00 WIB di Gedung TNCC, Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Fajar sendiri terjerat dua kasus sekaligus: narkoba dan asusila. Polri telah menyatakan bahwa Fajar positif menggunakan narkoba. Lebih parah lagi, ia juga ditetapkan sebagai tersangka kasus asusila dengan tiga korban anak di bawah umur. Trunoyudo, Kabid Humas Polda Metro Jaya, mengungkapkan bahwa Fajar diduga melanggar sejumlah pasal dalam kategori pelanggaran kode etik berat.
Pasal-pasal yang dilanggar meliputi Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, serta beberapa pasal dalam Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Ancaman sanksi yang menanti Fajar pun tak main-main: Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), alias dipecat dari kepolisian.
Kenapa Kasus AKBP Fajar Dianggap Pelanggaran Berat?
Choirul Anam menjelaskan bahwa konstruksi peristiwa pelanggaran menjadi kunci. Apakah Fajar hanya bertindak sendiri, ataukah ia terlibat dalam jaringan kejahatan yang lebih besar? Nah apakah ini orang yang berkomplot ataukah ini bagian dari jaringan internasional ataukah ini jaringan di level lokal sana, ujarnya. Hal ini penting untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
Anam menambahkan, Apalagi kemarin Pak Karowatprof menyatakan ini pelanggaran berat kategorinya, ini pasti PTDH, ujarnya. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Biro Wabprof) telah menemukan bukti-bukti kuat yang memberatkan Fajar.
Apa Saja Bukti yang Memberatkan AKBP Fajar?
Hasil penyelidikan dan pemeriksaan melalui kode etik serta Wabprof mengungkap fakta yang mencengangkan. Hasil dari penyelidikan, pemeriksaan melalui kode etik dan lewat Wabprof, ditemukan fakta bahwa FWLS telah melakukan pelecehan seksual dengan anak di bawah umur sebanyak tiga orang, ungkap Anam. Ketiga korban masing-masing berusia 6 tahun, 13 tahun, dan 16 tahun. Fakta ini tentu saja menjadi pemberat dalam sidang etik.
Apa Dampak Kasus Ini Bagi Citra Polri?
Kasus yang menimpa AKBP Fajar ini tentu saja menjadi tamparan keras bagi institusi Polri. Di tengah upaya Polri untuk meningkatkan kepercayaan publik, kasus ini justru mencoreng citra kepolisian. Publik tentu berharap agar Polri dapat menindak tegas pelaku pelanggaran, tanpa pandang bulu. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan profesionalisme Polri.
Kasus AKBP Fajar ini mengingatkan kita pada pentingnya pengawasan internal di tubuh Polri. Selain itu, kasus ini juga menjadi pengingat bagi seluruh anggota Polri untuk selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan menjaga perilaku di masyarakat. Jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga.
Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh anggota Polri. Mari kita dukung Polri untuk terus berbenah diri dan menjadi institusi yang profesional, modern, dan terpercaya.
Polisi adalah pengayom masyarakat, bukan predator anak bangsa.
Sebagai penutup, mari kita dengarkan sepotong lirik lagu yang relevan dengan situasi ini:
Ku ingin polisi jujur, ku ingin polisi adil,
Ku ingin polisi tegas, ku ingin polisi berwibawa.
Semoga harapan ini dapat terwujud di masa depan.