DPRD OKU Tagih Fee Proyek, Kadis PUPR Janjikan Cair Sebelum Lebaran!

Kasus dugaan suap dan pemotongan anggaran proyek di Dinas PUPR Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, memasuki babak baru. KPK telah menetapkan dan menahan enam orang tersangka terkait kasus ini. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi? Mari kita bedah kasus ini dengan bahasa yang lebih santai.

Semua bermula dari pembahasan APBD OKU pada Januari 2025. Dalam pembahasan tersebut, disepakati adanya fee sebesar 20% dari proyek-proyek di Dinas PUPR untuk para anggota DPRD OKU. KPK menyebutkan bahwa pemenang proyek harus menyerahkan commitment fee sebesar 22%, dengan rincian 20% untuk anggota DPRD dan 2% untuk Dinas PUPR OKU.

Fauzi, seorang pengusaha yang memenangkan proyek di Dinas PUPR, kemudian mengurus pencairan uang muka proyek pada 11-12 Maret 2025. Pada 13 Maret 2025, ia mencairkan uang muka tersebut di bank daerah dan menyerahkan Rp 2,2 miliar kepada Nopriansyah sebagai bagian dari commitment fee. KPK juga menemukan uang Rp 2,6 miliar yang diduga merupakan duit fee proyek yang telah disetorkan kepada Nopriansyah.

Kenapa Anggota DPRD Minta Jatah Fee Proyek?

Menjelang Idul Fitri, anggota DPRD yang diwakili oleh Ferlan Juliansyah (Komisi III), M Fahrudin, dan Umi Hartati, menagih jatah fee proyek kepada Nopriansyah sesuai dengan komitmen yang telah dijanjikan. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, mengungkapkan hal ini dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, pada Minggu, 16 Maret 2025.

Nopriansyah diduga mengatur pemenang sembilan proyek. Selain uang Rp 2,2 miliar dari Fauzi, ia juga diduga telah menerima Rp 1,5 miliar dari pengusaha lain bernama Ahmad Sugeng Santoso sebelumnya.

Siapa Saja yang Terjerat Kasus Ini?

KPK telah menahan enam orang sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu:

  • Ferlan Juliansyah (anggota DPRD OKU)
  • M Fahrudin (anggota DPRD OKU)
  • Umi Hartati (anggota DPRD OKU)
  • Nopriansyah (pihak yang mengatur proyek)
  • Fauzi (pengusaha)
  • Ahmad Sugeng Santoso (pengusaha)
  • Atas perbuatannya, Ferlan, Fahrudin, Umi, dan Nopriansyah dijerat pasal 12 a atau 12 b dan 12 f dan 12 B UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal-pasal ini mengatur tentang suap, pemotongan anggaran, dan gratifikasi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Sementara itu, Fauzi dan Ahmad dijerat pasal 5 ayat 1 a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Apa Dampak Kasus Ini Bagi Masyarakat OKU?

    Kasus ini tentu saja sangat disayangkan. Tindakan korupsi seperti ini merugikan masyarakat karena dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Masyarakat OKU tentu berharap agar kasus ini diusut tuntas dan para pelaku dihukum seberat-beratnya.

    Kasus ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa korupsi adalah musuh bersama. Kita harus bersama-sama memberantas korupsi agar pembangunan di Indonesia bisa berjalan dengan lancar dan masyarakat bisa menikmati hasilnya.

    Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak dan tidak terulang kembali di masa depan. Mari kita jaga integritas dan bersama-sama membangun Indonesia yang bersih dari korupsi.

    Ku ingin kau mengerti, di hatiku hanya kamu… (Sedikit intermezzo biar nggak tegang, hehehe…)

    More From Author

    Dampak Teknologi terhadap Tenaga Kerja: Revolusi Industri 4.0 dan Masa Depan Pekerjaan

    teknologi kedokteran itb

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *